12.22
0
"Semua
bid'ah
adalah
kesesatan" ,
demikianlah
kaidah yang
merupakan
wahyu dari Allah yang telah dilafalkan
oleh Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa
sallam-.
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh
sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu
'anhu,
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺇِﺫَﺍ ﺧَﻄَﺐَ ﺍﺣْﻤَﺮَّﺕْ ﻋَﻴْﻨَﺎﻩُ ﻭَﻋَﻼَ ﺻَﻮْﺗُﻪُ ﻭَﺍﺷْﺘَﺪَّ
ﻏَﻀَﺒُﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻛَﺄَﻧَّﻪُ ﻣُﻨْﺬِﺭُ ﺟَﻴْﺶٍ ﻳَﻘُﻮﻝُ » ﺻَﺒَّﺤَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﺴَّﺎﻛُﻢْ
.« ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ » ﺑُﻌِﺜْﺖُ ﺃَﻧَﺎ ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔَ ﻛَﻬَﺎﺗَﻴْﻦِ .« ﻭَﻳَﻘْﺮُﻥُ ﺑَﻴْﻦَ
ﺇِﺻْﺒَﻌَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﺒَّﺎﺑَﺔِ ﻭَﺍﻟْﻮُﺳْﻄَﻰ ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ » ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺈِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ
ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻫُﺪَﻯ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺷَﺮُّ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ
ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَ ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ »
Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika
Rasulullah berkhutbah maka merahlah
kedua mata beliau dan suara beliau
tinggi serta keras kemarahan (emosi)
beliau, seakan-akan beliau sedang
memperingatkan pasukan perang
seraya berkata "Waspadalah terhadap
musuh yang akan menyerang kalian di
pagi hari, waspadalah kalian terhadap
musuh yang akan menyerang kalian di
sore hari !!". Beliau berkata, "Aku
telah diutus dan antara aku dan hari
kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi
menggandengkan antara dua jari
beliau yaitu jari telunjuk dan jari
tengah-, dan beliau berkata :
"Kemudian daripada itu,
sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah Al-Qur'an dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad,
dan seburuk-buruk perkara adalah
perkara-perkara yang baru dan
semua bid'ah adalah kesesatan " (HR
Muslim no 2042)
Dalam riwayat An-Nasaai ada
tambahan
ﻭَﻛُﻞُّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ، ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ
ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
"Dan semua perkara yang baru adalah
bid'ah dan seluruh bid'ah adalah
kesesatan dan seluruh kesesatan di
neraka " (HR An-Nasaai no 1578)
Kaidah ini juga merupakan penggalan
dari wasiat Nabi yang telah
mengalirkan air mata para sahabat
radhiallahu 'anhum, sebagaimana
diriwayatkan oleh sahabat 'Irbaadh
bin Sariyah, Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata :
« ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻯ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ
ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺗَﻤَﺴَّﻜُﻮﺍ
ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ
ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ »
"Sesungguhnya barangsiapa yang
hidup setelahku maka dia akan
melihat banyak perselisihan, maka
wajib bagi kalian untuk mengikuti
sunnahku dan sunnah para khulafaaur
rosyidin yang mendapat petunjuk
setelahku, berpegang teguhlah dengan
sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah
ia dengan geraham kalian. Dan hati-
hatilah kalian terhadap perkara-
perkara baru, karena semua perkara
baru adalah bid'ah dan semua bid'ah
adalah kesesatan " (HR Abu Dawud
no 4069)
Selain dua hadits di atas ada hadits
lain yang juga mendukung bahwa
semua bid'ah adalah kesesatan, yaitu
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam :
ﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻋَﻤَﻞٍ ﺷِﺮَّﺓً ﺛُﻢَّ ﻓَﺘْﺮَﺓً، ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻓَﺘْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ
ﻓَﻘَﺪْ ﺿَﻞَّ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻓَﺘْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺳُﻨَّﺔٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺍﻫْﺘَﺪَﻯ "
"Sesungguhnya bagi setiap amalan
ada semangat dan ada futur (tidak
semangat), maka barangsiapa yang
futurnya ke bid'ah maka dia telah
sesat , dan barangsiapa yang futurnya
ke sunnah maka dia telah
mendapatkan petunjuk" (HR Ahmad
38/457 no 23474 dengan sanad yang
shahih)
Dalam hadits ini jelas Nabi menjadikan
sunnah sebagai lawan bid'ah dan
mengandengkan bid'ah dengan
kesesatan.
Demikian juga sebuah atsar dari
Mu'adz bin Jabal radhiallahu 'anhu
dimana beliau pernah berkata:
ﻓَﻴُﻮﺷِﻚُ ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻝَ ﻣَﺎ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻻَ ﻳَﺘَّﺒِﻌُﻮﻧِﻰ ﻭَﻗَﺪْ ﻗَﺮَﺃْﺕُ
ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻣَﺎ ﻫُﻢْ ﺑِﻤُﺘَّﺒِﻌِﻰَّ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺑْﺘَﺪِﻉَ ﻟَﻬُﻢْ ﻏَﻴْﺮَﻩُ ﻓَﺈِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣَﺎ
ﺍﺑْﺘُﺪِﻉَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻣَﺎ ﺍﺑْﺘُﺪِﻉَ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
"Hampir saja ada seseorang yang
berkata : Kenapa orang-orang tidak
mengikuti aku, padahal aku telah
membaca Al-Qur'an, mereka tidaklah
mengikutiku hingga aku membuat
bid’ah untuk mereka. Maka
waspadalah kalian terhadap bid’ah
karena setiap bid’ah adalah
kesesatan.” (Riwayat Abu Dawud no
4613, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-
Kubro 10/210 no 21444, Abdurrozaq
dalam mushonnafnya 11/363 no 20750
dengan sanad yang shahih)
Dalam atsar ini Mu'adz bin Jabal
mensifati bid'ah dengan dolalah
(kesesatan).
Hadits dan atasar ini semakin
menguatkan kaidah umum yang telah
dilafalkan oleh Nabi " Semua bid'ah
adalah kesesatan".
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,
ﻓﻘﻮﻟﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - : »ﻛﻞُّ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ «
ﻣﻦ ﺟﻮﺍﻣﻊ ﺍﻟﻜﻠﻢ ﻻ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻨﻪ ﺷﻲﺀٌ ، ﻭﻫﻮ ﺃﺻﻞٌ ﻋﻈﻴﻢٌ
ﻣﻦ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺪِّﻳﻦ ... ﻓﻜﻞُّ ﻣﻦ ﺃﺣﺪﺙ ﺷﻴﺌﺎً ، ﻭﻧﺴﺒﻪ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﺪِّﻳﻦ ، ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺃﺻﻞٌ ﻣﻦ ﺍﻟﺪِّﻳﻦ ﻳﺮﺟﻊ ﺇﻟﻴﻪ ، ﻓﻬﻮ
ﺿﻼﻟﺔٌ ، ﻭﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﺑﺮﻱﺀٌ ﻣﻨﻪ ، ﻭﺳﻮﺍﺀٌ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﺴﺎﺋﻞُ
ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩﺍﺕ ، ﺃﻭ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ، ﺃﻭ ﺍﻷﻗﻮﺍﻝ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮﺓ ﻭﺍﻟﺒﺎﻃﻨﺔ
"Maka sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam " Semua bid'ah adalah
kesesatan" termasuk dari jawaami'ul
kalim (kalimat yang singkat namun
mengandung makna yang luas-pen),
tidak ada satupun yang keluar darinya
(yaitu dari keumumannya-pen), dan ia
merupakan pokok yang agung dari
ushuul Ad-Diin... maka setiap orang
yang mengadakan perkara yang baru
dan menyandarkannya kepada agama
padahal tidak ada pokok agama yang
dijadikan sandaran maka ia adalah
sesat, dan agama berlepas darinya.
Dan sama saja apakah dalam
permasalahan keyakinan atau amal
ibadah baik yang dzohir maupun yang
batin" (Jaami'ul uluum wal hikam hal
252)
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔَ ﺍﻟﺸَّﺮْﻋِﻴَّﺔَ ﻻَ ﺗَﻜُﻮْﻥُ ﺇِﻻَّ ﺿَﻼَﻟَﺔً ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﺍﻟﻠُّﻐَﻮِﻳَّﺔِ
"Bahwasanya bid'ah syar’iyah pasti
sesat berbeda dengan bid'ah secara
bahasa" (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah
hal 206)
Banyak hal yang menunjukan
keumuman kaidah Nabi ini "Semua
bid'ah adalah sesat", diantaranya :
Pertama : Semua dalil yang
menunjukan tercelanya bid'ah datang
dalam bentuk mutlak dengan tanpa
pengecualian sama sekali. Tidak ada
satu dalilpun dalam syari'at yang
menyatakan : "Semua bid'ah adalah
sesat kecuali ini dan itu". Jika
ternyata tidak ada dalil sama sekali
yang mengecualikan maka kita harus
kembali kepada keumuman "Semua
bid'ah adalah sesat" tanpa ada
pengecualian.
Kedua : Kaidah umum yang
disebutkan oleh Nabi ini –yaitu
"Semua bid'ah adalah sesat"- selalu
diucapkan dan disampaikan oleh Nabi
tatkala khutbah sebagaimana
dijelaskan oleh sahabat Jarir bin
Abdillah di atas. Hal ini menunjukan
Nabi sering menyampaikan kaidah ini
kepada para sahabat, akan tetapi
tidak ada satu dalilpun yang
mengecualikan keumuman kaidah
Nabi ini. Dan dalam suatu kaidah jika
ada suatu kaidah yang kulliah (umum)
atau suatu dalil syar'i (yang lafalnya
menunjukan keumuman) jika terulang-
ulang di tempat yang banyak tanpa
sama sekali ada pentaqyidan atau
pengkhususan maka hal ini
menunjukan akan berlakunya
keumuman dalil tersebut. Dan dalil-
dalil yang berkaitan tentang pencelaan
bid'ah keadaannya seperti ini dimana
datang dalam jumlah yang banyak di
tempat yang berbeda-beda, pada
waktu yang berbeda-beda, namun
tidak ada satu dalilpun yang
menunjukan adanya pengkhususan
atan pentaqyidan
Ketiga : Kalau ada dalil yang
menunjukan adanya pengecualian
bid'ah yang baik maka dalil tersebut
harus dari Al-Qur'an atau dari hadits
Nabi, atau ijmak para ulama. Adapun
perkataan sebagian ulama maka itu
bukanlah dalil yang mengkhususkan
dan mengecualikan keumuman kaidah
Nabi "Semua bid'ah adalah sesat".
Jika para ulama tidak memandang
ijmaknya para ahli Madinah di zaman
Imam Malik sebagai hujjah, dan hujjah
adalah sunnah Nabi, apalagi hanya
pendapat sebagian dan segelintir
ulama. Apalagi ternyata ada ulama
lain yang menyelisihi mereka.
Keempat : Kalau ada dalil yang
mengkhususkan keumuman kaidah
Nabi ini sehingga ada satu atau dua
bid'ah yang dikecualikan maka
keumuman kaidah ini tetap berlaku
pada seluruh bid'ah yang lain, kecuali
pada dua bid'ah yang telah
terkecualikan tadi. Akan tetapi
kenyataannya tidak ada dalil sama
sekali yang mengecualikan
Kelima : Ijma' para sahabat dan para
tabi'in akan pencelaan bid'ah secara
umum tanpa ada pengkhususan, hal
ini diketahui dengan menelusuri atsar-
atsar mereka (diantaranya silahkan
lihat atsar-atsar para sahabat dalam
kitab Al-Baa'its 'alaa inkaaril bida'
wal hawaadits karya Abu Syaamah
As-Syafi'i). Tidaklah kita dapati
perkataan mereka atau sikap mereka
terhadap bid'ah kecuali dalam rangka
mencela. Adapun perkataan Umar
((sebaik-baik bid'ah adalah ini)) tidak
menunjukan penyelisihannya terhadap
para sahabat yang lain, karena Umar
tidak bermaksud dengan
perkataannya tersebut kecuali bid'ah
menurut bahasa karena sholat tarawih
merupakan sunnah Nabi shallalahu
'alaihi wa sallam.
Keenam : sesuatu bid'ah dinilai baik
merupakan hal yang relatif. Bukankah
setiap bid'ah dinilai baik oleh
peakunya, namun dinilai buruk oleh
orang lain??. Oleh karena perkaranya
relatif maka tidak bisa dijadikan
patokan dalam membentuk suatu
ibadah baru.
Sebagai contoh bid'ah maulid Nabi,
sebagaian orang merasa hal itu
merupakan sesuatu yang baik karena
bisa menumbuhkan dan memupuk
kecintaan kepada Nabi. Akan tetapi
sebagian orang menganggap perayaan
maulid Nabi merupakan perkara yang
buruk karena mengandung beberapa
mafsadah diantaranya :
- Tanggal kelahiran Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam masih
diperselisihkan, akan tetapi hampir
merupakan kesepakatan para ulama
bahwasanya Nabi meninggal pada
tanggal 12 Rabi'ul awwal. Oleh
karenanya pada hekekatnya perayaan
dan bersenang-senang pada tanggal
12 Rabi'ul Awwal merupakan
perayaan dan bersenang-senang
dengan kematian Nabi
- Acara perayaan kelahiran Nabi pada
hakekatnya tasyabbuh (meniru-niru)
perayaan hari kelahiran Nabi Isa yang
dilakukan oleh kaum Nashrani.
Padahal Nabi bersabda ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ
ﻣِﻨْﻬُﻢْ "Barangsiapa yang meniru-niru
suatu kaum maka ia termasuk kaum
tersebut"
- Kelaziman dari diperbolehkannya
merayakan hari kelahiran Nabi adalah
diperbolehkan pula merayakan hari
kelahiran Nabi-Nabi yang lain,
diantaranya merayakan hari kelahiran
Nabi Isa. Jika perkaranya demikian
maka sangat dianjurkan bahkan
disunnahkan bagi kaum muslimin
untuk turut merayakan hari natal
bersama kaum Nashrani
- Bukankah dalam perayaan maulid
Nabi terkadang terdapat
kemungkaran, seperti ikhtilat antara
para wanita dan lelaki?, bahkan di
sebagian Negara dilaksanakan acara
joget dengan menggunakan music?,
bahkan juga dalam sebagaian acara
maulid ada nilai khurofatnya dimana
sebagian orang meyakini bahwa Nabi
ikut hadir dalam acara tersebut,
sehingga ada acara berdiri
menyambut kedatangan Nabi. Bahkan
dalam sebagian acara maulid
dilantunkan syai'ir-sya'ir pujian
kepada Nabi yang terkadang berlebih-
lebihan dan mengandung unsur
kesyirikan
- Acara perayaan maulid Nabi ini
dijadikan sarana oleh para pelaku
maksiat untuk menunjukan kecintaan
mereka kepada Nabi. Sehingga tidak
jarang acara perayaan maulid Nabi
didukung oleh para artis –yang suka
membuka aurot mereka-, dan juga
dihadiri oleh para pelaku maksiat.
Karena mereka menemukan sarana
untuk menunjukan rasa cinta mereka
kepada Nabi yang sesuai dengan
selera mereka. Akhirnya sunnah-
sunnah Nabi yang asli yang
prakteknya merupakan bukti
kecintaan yang hakiki kepada Nabipun
ditinggalkan oleh mereka. Jika
diadakan perayaan maulid Nabi di
malam hari maka pada pagi harinya
tatkala sholat subuh maka mesjidpun
sepi. Hal ini mirip dengan perayaan
isroo mi'rooj yang dilakukan dalam
rangka mengingat kembali hikmah dari
isroo mi'rooj Nabi adalah untuk
menerima perintah sholat lima waktu.
Akan tetapi kenyataannya betapa
banyak orang yang melaksanakan
perayaan isroo' mi'rooj yang tidak
mengagungkan sholat lima waktu,
bahkan tidak sholat sama sekali.
Demikian juga perayaan nuzuulul
qur'an adalah untuk memperingati
hari turunnya Al-Qur'aan akan tetapi
kenyataannya betapa banyak orang
yang semangat melakukan acara
nuzulul qur'an ternyata tidak perhatian
dengan Al-Qur'an, tidak berusaha
menghapal Al-Qur'an, bahkan yang
dihapalkan adalah lagu-lagu dan
musik-musik yang merupakan seruling
syaitan
- Kelaziman dari dibolehkannya
perayaan maulid Nabi maka berarti
dibolehkan juga perayaan-perayaan
yang lain seperti perayaan isroo'
mi'rooj, perayaan nuzuulul qur'aan
dan yang lainnya. Dan hal ini tentu
akan membuka peluang untuk
merayakan acara-acara yang lain,
seperti perayaan hari perang badr,
acara memperingati hari perang Uhud,
perang Khondaq, acara memperingati
Hijrohnya Nabi, acara memperingati
hari Fathu Mekah, acara memperingati
hari dibangunnya mesjid Quba, dan
acara-acara peringatan yang lainnya.
Hal ini tentu akan sangat menyibukan
kaum muslimin.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya
baiknya suatu bid'ah merupakan hal
yang sangat relatif.
Ketujuh : Jika ada yang berkata,
"Saya ingin melakukan sesuatu
manuver baru yang akan
mendatangkan banyak kebaikan dan
akan menghilangkan perselisihan
diantara kaum muslimin dan
mengkokohkan barisan mereka.
Karena kenyataannya sekarang kaum
muslimin bercerai berai. Manuver baru
tersebut adalah : Tidaklah kita
beribadah dan berkeyakinan kecuali
dengan ibadah dan keyakinan yang
diyakini oleh para salafus sholeh. Jika
seluruh sekte dalam Islam mengikuti
manuver ini maka tentunya akan
mempersatukan umat Islam".
Tanpa diragukan lagi bahwa manuver
ini bukanlah bid'ah, bahkan banyak
dalil dari syari'at yang mendukung
akan hal ini. Akan tetapi taruhlah hal
ini merupakan bid'ah, toh ternyata
terlalu banyak sekte Islam yang tidak
setuju dengan manuver ini, padahal
hal ini merupakan hal yang sangat
baik. Bahkan hampir seluruh sekte
memerangi manuver ini, karena
kelaziman dari manuver ini maka
seluruh cara ibadah dan keyakinan
yang dimiliki sekte-sekte tersebut
yang tidak terdapat di zaman salaf
maka harus ditinggalkan.
Kedelapan : Bukankah sunnah-sunnah
dan ibadah-ibadah yang jelas-jelas
datang dari Nabi sangatlah banyak??
Dan bukankah salah seorang dari kita
tidak akan mampu untuk
melaksanakan seluruh ibadah-ibadah
tersebut?. Sebagai contoh, cobalah
salah seorang dari kita membaca
kitab Riyaadus Sholihiin, lalu berusaha
menerapkan ibadah dan adab-adab
yang telah dijelaskan dalam kitab
tersebut yang notabene benar-benar
datang dan dicontohkan oleh Nabi.
Tentunya dia tidak akan mampu untuk
melakukannya. Jika perkaranya
demikian, lantas mengapa kita harus
bersusah payah untuk memunculkan
model-model ibadah yang baru yang
tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
dan para sahabatnya??!!
(Lihat kitab Al-Baa'its 'alaa inkaaril
bida' wal hawaadits, karya Abu
Syaamah As-Syafi'i, Haqiqotul Bid'ah
wa Ahkaamuhaa hal 1/282-285,
Majmu' fatawa Ibnu Taimiyyah
10/370-371, dan Iqtidho shirootil
Mustaqiim karya Ibnu Taimiyyah
1/270, Luma' fi Ar-Rod 'alaa
muhassinil bida')
Madinah, 21 Dzul Hijjah 1431 / 27
November 2010
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com

0 komentar:

Posting Komentar