23.49
0
[caption id="" align="alignleft" width="280"]Ketika Mas Gagah Pergi Ketika Mas Gagah Pergi[/caption]

Karya: Helvy Tiana Rosa
Mas Gagah berubah!
Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku,
sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu
benar-benar berubah !
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di
Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak
yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu
saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu
membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar
privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada
rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku
kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku
butuh pertolongan. Ia menghibur dan
membujuk di saat aku bersedih. Membawakan
oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku
mengaji.
Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang
baik, menyenangkan dan berarti banyak
untukku.Saat memasuki usia dewasa kami jadi
makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu
kosong, maka kami akan menghabiskannya
bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser
musik atau sekedar bercanda bersama teman-
teman. Mas Gagah yang humoris itu akan
membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan
teman-temanku tertawa terbahak-bahak.
Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar
teman-temanku pulang usai kami latihan teater.
Kadang kami mampir dan makan dulu di
restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah.
Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek,
orang tua dan adik kakak teman-temanku
menyukai sosoknya !
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan
humoris. Masih kosong nggak sih ?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah,
sekarang orang serumahku sering membanding-
band ingkan teman cowokku sama Mas Gagah
lho ! Gila, berabe khan ?”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?”
Dan masih banyak lontaran-lontar an senada
yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-
mesem. Bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia
belum punya pacar. Apa jawabnya ?
“Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi
kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak
anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He…he…
he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok
ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan
masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia
moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah
mengapa beberapa bulan belakangan ini ia
berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal
dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas
Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
–=oOo=–
“Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal
sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-
keras.
Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah
ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan
pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab
gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca
artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alai kuuum!” seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut
Mas Gagah.
“Wa’alaikumussa lam warahmatullahi
wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak
seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya !” kataku sewot.
“Lho emang kenapa ?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas
Gagah ! Memangnya kita orang Arab… ,
masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku
cemberut.
“Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi
dzikir, Gita !”
“Bodo !”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas.
Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas
sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata
Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di
ruang tamu, Gita ngambek…, mama bingung.
Jadinya ya, di pasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik
dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-
tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan
nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris. Bagus, lho !”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku
ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar
Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa
selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana
kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen,
Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya?
“Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin
Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu
mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah
ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau
denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak
kok !” begitu kata Mas Gagah.
Oalaa !
–=oOo=–
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma
itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku
cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA,
aku cukup jeli mengamati perubahan-perub
ahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.Di
satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat
tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya
soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di
lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku
Islam.
Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan
senang hati menguraikan isi buku yang
dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-
ujungnya, ”Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau
kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh
pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju
panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik
manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !”
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat
penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma
punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja!
Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau
aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri
dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita ! Eh,
sekarang pakai manggil Dik Manis segala!Hal lain
yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh.
Sering juga mama menegurnya.“Pen
ampilanmu kok sekarang lain, Gah?’“Lain gimana,
Ma ?”“Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi.
Biasanya kamu yang paling sibuk dengan
penampilan kamu yang kayak cover boy
itu…”Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini,
Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya
juga lebih santun.”Ya, dalam penglihatanku Mas
Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan
panjang atau baju koko yang dipadu dengan
celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak
Gino,” komentarku menyamakannya dengan
sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak
rambutku dan berlalu.
Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat
kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak
seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget
ngobrol lama atau becanda sama perempuan.
Teman-temanku bertanya-tanya. Thera,
peragawati sebelah rumah, kebingungan.
Dan…yang paling gawat, Mas Gagah emoh
salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih
maunya Mas Gagah?
“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau
salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling
beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari.
“Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai
orang !”
“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas
begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat
sabar. “Gita lihat khan orang Sunda salaman?
Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih
benar!”
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk
melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda.
Apa hubungannya?
Mas Gagah membawa sebuah buku dan
menyorongkannya padaku. “Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah,
demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak
pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali
dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”
Si Mas tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama.
Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan
terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap
kepalaku. “Coba untuk mengerti ya, Dik Manis !?”
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan
seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas
Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah
terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi
nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia
terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi
ngawur. Namun…, akhirnya aku nggak berani
menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas
sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh
satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan
aku yakin mata batinnya jernih dan tajam.
Hanya…, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja.
Kutarik napas dalam-dalam.
–=oOo=–
“Mau kemana, Git!?”
“Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil
mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau
diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!”
“Ikut Mas aja, yuk!”
“Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah!
Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu
Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya.
Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak
menghadiri tabligh akbar di suatu tempat.
Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-
cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu.
Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan
pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum
lagi rambut trondol yang nggak bisa aku
sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah
menyuruhku memakai baju panjang dan
kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku
nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
“Assalaamu’alai kum!” terdengar suara beberapa
lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat
Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu.
Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini.
Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik
aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
“Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?”
tanyaku iseng.
Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak
akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah
nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal
teman-temannya lumayan handsome!
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir.
“Ssssttt !”
Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka.
Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi,
belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab…, yaaa
begitu deh!!
–=oOo=–
“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!”
seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku.
Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini
berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan
baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh?
Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang
keras membuat beberapa makhluk di kantin
sekolah melirik kami.
“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan
akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk
menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil
menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu
Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh
ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut . Lagak Isa dan Hendra
memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak
baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan
tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang
seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah
orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha
mengamalkan Islam dengan baik dan benar.
Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan
sering salah paham.”Aku diam. Kulihat
kesungguhan di wajah bening Tika, sobat
dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di
mataku menjelma begitu dewasa.
“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah
kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita…,
meski kita kini punya pandangan yang berbeda,”
ujar Tika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan
Mas Gagah…,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-
pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya
bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau
membicarakan hal ini denganku. Nginap di
rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian
kukenalkan pada Mbak Ana.”
“Mbak Ana ?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh,
pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah
hidayah!”
“Hidayah ?”
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama
Mbak Ana!”
–=oOo=–
“Assalaamu’alai kum, Mas Ikhwan…, eh Mas
Gagah !” tegurku ramah.
“Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar
sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas
Gagah pura-pura marah, usai menjawab
salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku
pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil
mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster,
kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina,
Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang
tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak
koleksi buku ke-Islaman..
“Cuman lagi baca !”
“Buku apa ?”
“Tumben kamu pengin tahu?”
“Tunjukin dong, Mas…buku apa sih?” desakku.
“Eit…, Eiiit !” Mas Gagah berusaha
menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah.
“Nih!” serunya memperlihatkan buku yang
sedang dibacanya dengan wajah setengah
memerah.
“Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga.
Akhirnya kami bersama-sama membaca buku
‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam
Islam’ itu..
“Maaaas…”
“Apa Dik manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa ?”
“Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab…,” tanyaku
manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan
panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang
Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang
diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang
kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran
fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal
lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian
lama, aku merasa kembali menemukan Mas
Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara.
Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil
menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat
sebelumnya!!
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini
sering dianggap remeh. Sedih karena ummat
yang banyak meninggalkan Al-Quran dan
Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat
Mas bersenang-senan g dan bisa beribadah
dengan tenang, saudara-saudara seiman di
Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya,
mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur
beratap langit…”
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan
tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
“Kok…tumben Gita mau dengerin Mas
ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah !” Ujarku
sekenanya.
“Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur.
Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal
demikian. Aku ngerti deh meski nggak
mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-
buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat
hidayah!
–=oOo=–
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat
lagi sepeti dulu. Meski aktivitas yang kami lakukan
berbeda dengan yang dahulu.
Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali
Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke
tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang
cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila
sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
“Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu
rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan
rohaninya kapan?” tegurku.Biasany a Papa
hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya
deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara
pernikahan temannya. Aku sempat bingung
juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding
tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah
antara lelaki dan perempuan. Terus bersama
souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga.
Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka
dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang,
baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana
hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu
tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan
kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia
juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah
mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi
denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai
baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa
nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab, Git !” pinta Mas Gagah suatu
ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol!
Lagian belum mau deh jreng!”
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau
pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama”.
Memang sudah beberapa hari ini mama
berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si
Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga
dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau, tapi nggak sekarang…,” kataku. Aku
memikirkan bagaimana dengan seabreg
aktivitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan
semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah
mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang
wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh
sama Mas Gagah!
“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk
di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat
hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah
hidayah!”
“Lho?” Mas Gagah bengong.
–=oOo=–
Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah
Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara
Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk
umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu
pembicaranya! Aku yang berada di antara
ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak,
“Hei, itu kan Mas Gagah-ku !”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya
bagus, materi yang dibawakannya menarik dan
retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar
ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih
mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits
Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik
dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas
Gagah bisa sih? Bahkan materi yang
disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh
dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz
tenar yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara
tentang muslimah masa kini dan tantangannya
dalam era globalisasi.“Be tapa Islam yang jelas-
jelas mengangkat harkat dan martabat wanita,
dituduh mengekang wanita hanya karena
mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana
taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan
bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang
Islam sendiri,” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di
hati ini.
–=oOo=–
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang
sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta
diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak
sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan
berulang kali mengucap hamdalah.
Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama
bisa dikompakin. Nanti sore aku akan
mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke
kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian
mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan
tasyakuran ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira,
memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang
memberikan ceramah pada acara tasyakuran
yang insya Allah mengundang teman-teman dan
anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss!
Assalaamu’alaik um!” kuketuk pintu kamar Mas
Gagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??!” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya
langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam
minggu kan suka nginep di rumah temannya,
atau di Masjid.”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada
janji sama Gita hari ini,” hibur mama menepis
gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah
mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !” Mama
tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai.
Tersenyum pada Mama.
–=oOo=–
Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan
jauh…” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu.
Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum
pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah
selalu bilang, Pa!”
Aku menghela napas panjang. Menguap.
Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan.
Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan
melihatku memakainya.
“Kriiiiiiiiiiii iiiiiiiiiiiiiii nggg !!” Telpon berdering.
Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa?
Gagah???”
“Ada apa , Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah…, kecelakaan…, Rumah Sakit… Islam…,”
suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!!! ” Air mataku tumpah.
Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju
Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis
berangkulan. Jilbab kami basah.
–=oOo=–
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah
terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh
perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk
menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah.
Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang
kondisi Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam
ruangan.
“Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti
mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi
pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku, “Sabar,
Sayang…, sabar.”
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara
dengan dokter yang khusus menangani Mas
Gagah. Wajah mereka suram.“Suster, Mas
Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?”
tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada
syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku
kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan
dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah
enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas…Gagah…,
Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas…
Gagah…,” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah
sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal
kami dan seorang bapak paruh baya yang
menunggui anaknya yang juga dalam kondisi
kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah,
selamatkan Mas Gagah…, Gita, Mama dan Papa
butuh Mas Gagah…, umat juga.”
Tak lama dokter Joko yang menangani Mas
Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan
memanggil nama ibu, bapak, dan Gi…”
“Gita..” suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan waktu yang ada untuk
mendampinginya seperti permintaannya. Sukar
baginya untuk bertahan. Maafkan saya…, lukanya
terlalu parah,” perkataan terakhir dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan
harapanku!
“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya
seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah
pakai.. jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah
kusentuhkan pada tangannya.Tubuh Mas Gagah
bergerak lagi.
“Dzikir…, Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang
lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya
tertutup perban. Wajah itu begitu tenang…
“Gi…ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matamya terbuka. Aku
tersenyum.
“Gita… udah pakai… jilbab…,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum.
Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti
hamdalah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…,” ujarku
pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk
mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian.
Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-
ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…,
sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi.
Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya
menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin
pucat. Tapi sebentar-sebent ar masih tampak
bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa
mendengar apa yang kami katakan meski hanya
bisa membalasnya dengan senyuman dan
isyarat mata.Kuusap setitik lagi airmata yang
jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…,
Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya.
Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat
menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi
sebagai insan beriman, seperti juga yang
diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan
Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas
Gagah.
“Laa…ilaaha…ill a…llah…, Muham…mad…Ra…su
l…Al…lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak
terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang
sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan
dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak
kami bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat jalan, Mas Gagah !
–=oOo=–
(Epilog)
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,Semoga
memperoleh umur yang berkah,Dan jadilah
muslimah sejatiAgar Allah selalu besertamu.Sun
Sayang,Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah.
Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh,
ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado
untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang.
Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara
nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu
suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi
yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya
wajah para Mujahid di dinding kamar yang
menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah
bergema di ruang ini…
Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”“Ya, Insya Allah
akhwat!”“Yang bener?”“Iya, dik manis!”“Kalau
ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”“Kok
nanya gitu?”“Lha, Mas Gagah ada
jenggotnya!”“Ga nteng kan?”“Uuu! Eh, Mas, kita
kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”“Ya always
dong ! Jihad itu… “
Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak
sungai.Kumatika n lampu. Kututup pintu
kamarnya pelan-pelan

0 komentar:

Posting Komentar